Selasa, 17 Juni 2008

Baturraden, Terkenal Sejak 1900






stevies@jurnas.com


Baturraden merupakan wilayah kecamatan yang berada paling utara di Kabupaten Banyumas atau sekitar setengah jam perjalanan dari kota Purwokerto. Terletak di ketinggian 1300 dpl, membuat dataran tinggi Baturraden berhawa sejuk, segar dan menjadi incaran wisatawan untuk sekedar berakhir pekan.

“Saya ingin menghabiskan akhir pekan bersama keluarga dengan berendam air panas di Pancuran Pitu, makan malam menu nasi pecel di warung lesehan, menemani anak-anak berkemah di Wanawisata dan menghabiskan malam dengan minum kopi jahe susu yang banyak dijual di sini,” tutur Asri Lestari, pengusaha peralatan kesehatan.

Dari komentar Asri, terdengar seperti keinginan untuk melepas lelah, seolah tengah mencari ketenangan dan ingin membuang jauh-jauh kepenatannya selama hidup di hiruk pikuk kota.

Memang. sejak masa 1900-an, Baturraden dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi kalangan staf pemerintahan kolonial belanda dan pemilik pabrik gula (hegeheren). Beberapa bangunan yang masih digunakan hingga saat ini adalah unit pembangkit listrik tenaga air di Curug Gede Desa Karangmangu dan Induk Taman Ternak yang dahulu dirintis oleh J.C Balgooy, sementara bangunan lainnya telah hancur akibat peperangan di masa revolusi.

Tidak seperti objek wisata di perkotaan yang didominasi dengan teknologi, objek di Baturraden lebih identik dengan wisata kuliner yang mencirikan kesederhanaan banyumas seperti nasi pecel, gethu goreng atau mendoan, serta alam yang masih asri dan tenang. Suasana malam harinya pun jauh dari bising dan riuh kota. Apalagi jika telah memasuki musim kemarau, hawa di malam hari bisa mencapai 10 derajat celcius. Mau tak mau Anda harus mengunjungi warung-warung kopi jahe susu yang tersebar di sepanjang jalan utama Baturraden dan membaur dalam canda tawa bersama pengunjung lainnya.

“Walaupun dingin, suasana di warung ini sangat menyenangkan. Saya memesan kopi seharga Rp 2.000 per gelas, ngobrol dan bercanda akrab dengan orang-orang yang baru saya kenal. Pemilik warung bahkan sengaja membuat api unggun agar suasana menjadi semakin hangat. Ini luar biasa. Satu hal yang tidak pernah saya dapatkan di Jakarta,” kata Dedi Setiadi, warga Jababeka.

Hingga malam pun berganti pagi. Sebagai pelengkap kunjungan wisata di Baturraden, ada salah satu objek andalan yaitu Lokawisata Baturraden yang dirintis tahun 1967. Di dalamnya dapat Anda temui Pancuran Telu, sebuah kolam air panas yang terbentuk secara alami. Konon, khasiat belerang di air panasnya mampu mengobati berbagai masalah kesehatan kulit. Penduduk setempat pun tidak mau ketinggalan. Mereka menyediakan jasa pijat refleksi dengan tarif Rp 30.000 per orang di pinggir kolam. Mulai dari jari kaki sampai kepala, satu persatu syaraf yang tegang akan dirilekskan dengan jari-jarinya yang seolah tercipta khusus untuk memijat. Cukup lama juga dipijatnya, kalau dihitung-hitung, mungkin sekitar 1 jam.

Sedangkan bagi pria-pria lajang yang ingin suasana sedikit lebih bergairah, sisakanlah waktu sejenak untuk menari bersama para penari kesenian Lengger Banyumasan yang masih muda dan molek. Musiknya yang sangat dinamis, ditimpali dengan goyang pinggul kanan dan kiri para penarinya. Dijamin membuat pria manapun betah. Jangan pernah menolak rejeki jika selendangnya tersampir di leher Anda, karena itu pertanda, si gadis ingin mengajak Anda menari bersama. Cukup siapkan beberapa lembar uang kertas untuk saweran.

Menikmati suasana yang berkesan tradisional namun eksotik ini, saya teringat tulisan J.W Van Depperen, seorang pejabat Belanda yang bertugas di wilayah Karesidenan Banyumas pada masa penjajahan dulu. “Plaatsen van vereering op de zuidhelling van den Slamet tusschen de rivieren Peloes en Logawa,” demikian tulis Depperen pada tahun1935. Sama halnya dengan kita, mereka sedemikian mencintai tradisi dan alam Baturraden yang diapit oleh dua sungai besar (Pelus dan Logawa) yang mengalir jernih melalui kelokan lembah di kaki Gunung Slamet. Steve Saputra